Tuturpedia.com – Pada Sabtu (19/10/2024), halaman Gedung Perkumpulan Seni Budaya Sobokartti yang berlokasi di Jalan Dr. Cipto, Semarang, dipenuhi oleh penonton.
Mereka hadir untuk menikmati pentas wayang orang, yaitu kesenian tradisional Jawa berupa drama dengan kisah wayang yang diiringi tarian serta alunan gamelan.
Cerita atau lakon berjudul Srikandi Sang Senopati yang dipentaskan merupakan bagian klimaks dari Perang Bharatayuda, puncak dalam kisah Mahabharata yang menjadi dasar dari pewayangan.
Tokoh utama dari lakon adalah Srikandi, sosok ksatria perempuan yang ahli memanah. Dengan menghadapi Bisma yang tak terkalahkan, ia menjadi harapan terakhir Pandawa untuk memenangkan perang.
Bukan hanya lakonnya yang spesial, pagelaran tersebut dibuka gratis bagi publik untuk memperingati ulang tahun Gedung Kesenian Sobokartti yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Tepatnya pada 5 Oktober 1929.
Arsiteknya seorang asal Belanda ternama bernama Thomas Karsten. Ia merancang Pasar Johar serta fasilitas publik lainnya di Semarang dan di berbagai kota Indonesia yang masih digunakan hingga kini.
Menurut artikel Tjahjono Rahardjo yang juga sempat menjabat sebagai Ketua Umum Sobokartti, bangunan yang dahulu disebut ‘volkstheatre‘ atau teater rakyat ini merupakan perpaduan dari unsur Jawa dan Eropa.
Ini terlihat dari penggunaan bentuk pendopo, yaitu bagian rumah Jawa yang biasa digunakan untuk pentas kesenian tetapi tetap memperhatikan kenyamanan bagi penonton yang sesuai dengan fungsi gedung pertunjukan di Eropa.
Buku Semarang dalam Kenangan menyebutkan jika gedung ini menjadi titik pertempuran dari Perang Lima Hari. Sebanyak 18 pejuang Indonesia gugur dan dimakamkan di halaman gedung sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal pada 1960. Potongan sejarah tersebut membuat pentas juga dipersembahkan untuk memperingati pertempuran yang meletus pada 15-19 Oktober 1945.
Dengan nilai sejarah yang tinggi, bangunan terdaftar sebagai cagar budaya yang berarti wujudnya dilindungi sesuai kaidah konservasi. Gedung pun masih difungsikan oleh perkumpulan budaya Sobokartti yang turut digagas oleh Karsten. Sanggar menyediakan pelatihan kesenian Jawa seperti karawitan, pedalangan atau seni wayang, tari, hingga pranata acara atau pembawa acara dalam bahasa Jawa.
Para penampil dalam pentas malam itu, yang sebagian besar anak muda, merupakan murid dari sanggar yang namanya berarti ‘tempat berkarya’ tersebut.
Antusiasme dalam pementasan baik dari pemain serta masyarakat yang hadir menonton menunjukan minat dan kepedulian akan kesenian Jawa masih relevan di Kota Semarang. Semoga kondisi ini masih terus berkembang bahkan menjelang usia Sobokartti yang sebentar lagi akan menyentuh satu abad.***
Penulis: Fadillah Wiyoto
Editor: Annisaa Rahmah