Tuturpedia.com – Sebanyak 13 dari 15 anggota anggota Dewan Keamanan PBB memberikan suara atas dukungan dalam merancang resolusi gencatan senjata di Gaza pada (8/12/2023).
Sebelum pemungutan suara, Mohamed Issa Abushahab (Uni Emirat Arab) mencatat bahwa rancangan resolusi yang diajukan oleh negaranya mendapat sponsor bersama dari setidaknya 97 Negara Anggota dalam waktu 24 jam.
Dikutip Tuturpedia.com dari laman United Nation (9/12/2023), resolusi gencatan senjata yang diajukan oleh UEA ini akan menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera, serta memastikan akses kemanusiaan.
Dengan kata lain, mereka akan menegaskan kembali tuntutannya agar semua pihak mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional, hukum humaniter internasional, khususnya mengenai perlindungan warga sipil.
Adanya pemungutan suara tersebut dilakukan setelah Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres membuat langkah yang jarang terjadi, yaitu memperingatkan kepada dewan PBB mengenai ancaman global dari perang sejak dua bulan lalu.
“Pesan apa yang kita kirimkan kepada warga Palestina jika kita tidak bisa bersatu untuk menyerukan penghentian pemboman tanpa henti di Gaza?” tanya Wakil Duta Besar UEA untuk PBB Mohamed Abushahab kepada dewan.
“Sebenarnya, pesan apa yang kami sampaikan kepada warga sipil di seluruh dunia yang mungkin mengalami situasi serupa?” lanjutnya.
Sayangnya, Dewan Keamanan gagal mengadopsi resolusi yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza karena veto atau penolakan yang diberikan oleh Amerika Serikat.
Hak veto itu, AS berikan kepada Dewan Keamanan PBB yang secara diplomatis mengisolasi Washington untuk melindungi sekutunya.
AS dan Israel menentang gencatan senjata, karena mereka yakin hal itu hanya akan menguntungkan Hamas.
Di sisi lain, Washington malah mendukung jeda dalam pertempuran untuk melindungi warga sipil dan mengizinkan pembebasan sandera yang ditawan oleh Hamas dalam serangan mematikan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.
Resolusi PBB Dianggap Terburu-buru
Pihak Amerika Serikat menilai bahwa resolusi PBB ini terlalu terburu-buru, maka dari itu mereka menolaknya.
“(Resolusi) yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang tidak akan membawa kemajuan dalam hal yang konkret,” ungkap Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood.
Sebagai gantinya, AS menawarkan amandemen substansial terhadap rancangan tersebut, termasuk kecaman atas serangan Hamas pada 7 Oktober yang menurut Israel menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan 240 orang disandera.
Sementara itu, Inggris yang memilih untuk tidak memberikan suara, beralasan jika resolusi tersebut dianggap tidak ada kecaman terhadap Hamas.
Barbara Wood, selaku Duta Besar Inggris mengatakan Israel harus mampu mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh Hamas untuk memastikan serangan serupa tidak akan terjadi lagi. Oleh karena itu, ia abstain terhadap rancangan resolusi tersebut.
Hasil Vote Membuat Berbagai Pihak Kecewa
Aksi penolakan resolusi dari pihak Amerika dan Inggris menimbulkan kekecewaan mendalam bagi beberapa pihak, khususnya Rusia dan Uni Emirat Arab.
Dmitry A. Polyanskiy, selaku Federasi Rusia mengatakan bahwa selama dua bulan, dewan telah gagal memenuhi fungsinya karena posisi Amerika Serikat yang keras kepala, egois, destruktif, dan melakukan segalanya.
Ia juga bertanya-tanya, bagaimana Amerika Serikat akan menjelaskan kepada warganya yang melakukan protes di jalan-jalan jika mereka menghalangi rancangan resolusi tersebut
Pihak UEA juga kecewa dengan hasil dari pemungutan suara atas resolusi yang sudah diajukan. Abu Shahab merasa PBB menjadi badan yang terisolasi dan tampak tidak terikat dengan dokumen pendiriannya sendiri.
Ia pun menekankan bahwa hasil yang mengecewakan ini tidak akan menghalangi negaranya untuk terus meminta anggota dewan untuk bertindak dan mengakhiri kekerasan di Gaza.***
Penulis: Anna Novita Rachim
Editor: Annisaa Rahmah