Tuturpedia.com — Yogyakarta dan Surakarta (Solo) dikenal sebagai dua pusat kebudayaan Jawa yang memegang teguh warisan Kesultanan Mataram Islam. Namun, banyak masyarakat masih bingung membedakan empat gelar penting yang identik dengan dua daerah tersebut, yaitu Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara. Keempatnya sama-sama merupakan penerus tradisi kerajaan Mataram, tetapi memiliki latar belakang, wilayah kekuasaan, dan status yang berbeda.
Artikel ini merangkum penjelasan lengkap mengenai perbedaan keempat gelar tersebut, dengan bahasa ringan agar mudah dipahami masyarakat umum.
Berawal dari Pecahnya Mataram Islam
Kesultanan Mataram pernah menjadi kerajaan Islam terbesar di Jawa pada abad ke-17. Namun, konflik internal keluarga kerajaan, perebutan tahta, serta campur tangan VOC dan Inggris membuat kekuasaan Mataram terpecah.
Sejarawan menjelaskan bahwa peristiwa penting yang memicu perpecahan itu adalah Perjanjian Giyanti tahun 1755. Dalam perjanjian tersebut, Mataram dibagi menjadi dua wilayah besar: Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pembagian ini melahirkan dua gelar pemimpin utama, yaitu Hamengku Buwono untuk Yogyakarta dan Paku Buwono untuk Surakarta. “Perjanjian Giyanti membagi wilayah Mataram menjadi dua: wilayah Jogja dan wilayah Solo,” tertulis dalam artikel detikJogja.
Namun, perpecahan tak berhenti sampai di situ. Beberapa tahun kemudian, muncul dua kadipaten otonom: Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Keduanya menjadi bagian dari penyempurnaan struktur politik kerajaan setelah perjanjian Giyanti.
Hamengku Buwono: Sultan Yogyakarta
Gelar Hamengku Buwono merujuk pada penguasa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kesultanan ini berdiri pada 1755 dan berpusat di Yogyakarta.
Pemakaian gelar Hamengku Buwono terus berlanjut dari Hamengku Buwono I hingga pemimpin yang menjabat saat ini. Gelar tersebut memiliki makna filosofis, yakni “pemelihara dunia” atau “pengayom bumi”, yang menunjukkan peran sultan sebagai pemimpin spiritual dan pemerintahan.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta merupakan bagian barat dari bekas wilayah Mataram. Hingga hari ini, Sultan Yogyakarta juga memegang posisi penting dalam pemerintahan daerah sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Paku Alam: Adipati Pakualaman di Yogyakarta
Selain sultan, Yogyakarta juga memiliki pemimpin lain dengan gelar Paku Alam. Gelar ini digunakan oleh penguasa Kadipaten Pakualaman, yang berdiri pada 1813. Berdirinya Pakualaman terjadi pada masa pemerintahan Inggris di Jawa, tepatnya ketika Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles berkuasa.
Kadipaten Pakualaman memiliki status lebih kecil dibanding Kesultanan Yogyakarta, tetapi tetap merupakan entitas politik penting. Gelar Paku Alam memiliki arti “peneguh tatanan alam”, mencerminkan tugas adipati sebagai penjaga keseimbangan dalam lingkungan kerajaan.
Sama seperti Kesultanan, pemimpin Pakualaman juga memiliki kedudukan penting dalam pemerintahan daerah dan berperan sebagai Wakil Gubernur DIY menurut Undang-Undang Keistimewaan.
Paku Buwono: Raja Kasunanan Surakarta
Berpindah ke Solo, gelar Paku Buwono digunakan untuk penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kerajaan ini merupakan penerus langsung Mataram setelah perpindahan istana ke Surakarta. Lokasinya berada di wilayah timur Jawa.
Gelar Paku Buwono bermakna “peneguh dunia” atau “pemelihara bumi”, sama seperti Hamengku Buwono, tetapi berada pada wilayah berbeda. Hingga kini, Kasunanan Surakarta masih menjaga tradisi kerajaan, adat istiadat, serta seni budaya Jawa melalui berbagai kegiatan dan ritual keraton.
Mangkunegara: Pemimpin Kadipaten Mangkunegaran
Selain Kasunanan, Solo juga memiliki kadipaten otonom, yakni Praja Mangkunegaran. Kadipaten ini berdiri pada tahun 1757, diakui melalui Perjanjian Salatiga yang memberikan kekuasaan kepada Raden Mas Said setelah perjuangannya melawan VOC dan Kasunanan.
Pemimpinnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara atau disingkat Mangkunegara. Statusnya bukan kesultanan, melainkan kadipaten otonom yang memegang hak politik dan budaya tersendiri. Mangkunegaran dikenal memiliki tradisi seni yang khas dan berbeda dengan Kasunanan, seperti variasi jumlah penari bedhaya pada ritual tertentu.
Perbedaan dalam Sekilas
Untuk memudahkan, berikut ringkasan singkat perbedaannya:
Meski memiliki perbedaan gelar dan status, keempatnya sama-sama merupakan pewaris budaya Mataram yang hingga kini menjaga nilai, adat, dan tradisi Jawa. Setiap kesultanan dan kadipaten memainkan peran penting dalam pelestarian budaya, seni, dan sistem kerajaan yang masih hidup sampai sekarang.














