Blora, Tuturpedia.com – Kasus dugaan salah tangkap pelaku pembuangan bayi yang disertai pemeriksaan intim paksa hingga merusak organ intim korban terus menuai kecaman keras dari berbagai pihak.
Tindakan oknum aparat yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, sekaligus bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
Tokoh aktivis perempuan sekaligus penulis asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Dewi Nur Halimah, menegaskan bahwa peristiwa ini tidak bisa disederhanakan sebagai kesalahan prosedur biasa.
Menurutnya, kasus tersebut mencerminkan kejahatan hukum yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan lebih dari satu pihak.
“Kehormatan perempuan itu tidak setara dengan Rp50 juta. Ini bukan perkara ganti rugi ringan. Ini pelecehan seksual, salah tangkap, dan pencemaran nama baik sekaligus,” tegas Halimah kepada awak media, Sabtu (20/12/2025).
Dirinya, secara keras mengkritik penyelesaian kasus melalui kompensasi uang dan beasiswa pendidikan. Menurutnya, tawaran beasiswa S1 justru menunjukkan cara pandang yang keliru terhadap penderitaan korban.
“Beasiswa itu bisa dari mana saja, ada Bidikmisi, KIP, Bank Indonesia, dan program pemerintah lainnya. Jangan mereduksi kehormatan perempuan seolah bisa ditebus dengan beasiswa,” ujarnya.
Pihaknya bahkan menyebut, jika negara benar-benar bertanggung jawab, seharusnya korban diangkat menjadi anggota Polwan sebagai bentuk rehabilitasi martabat dan pengakuan negara atas kesalahan fatal aparat.
“Daripada beasiswa, lebih tepat diangkat jadi Polwan. Itu simbol pemulihan martabat, bukan sekadar bantuan sosial,” tambahnya.
Lebih jauh, Halimah, menilai nominal ganti rugi Rp50 juta sama sekali tidak mencerminkan keadilan. Ia menyebut angka tersebut terlalu kecil untuk menebus trauma fisik, psikis, dan sosial yang dialami korban.
“Ini kehormatan perempuan. Minimal Rp5 miliar untuk pemulihan. Biar jadi pelajaran, supaya tidak asal fitnah dan tidak asal tangkap,” tegasnya.
Tak hanya itu, dirinya juga mengungkapkan detail yang menurutnya paling kejam dalam kasus ini, yakni pemeriksaan intim paksa tanpa surat penangkapan dan tanpa dasar hukum yang sah. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan cara memasukkan alat ke organ intim korban, yang mengakibatkan robeknya selaput vagina korban yang sebelumnya masih perawan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini pelecehan seksual yang dilegalkan oleh kekuasaan. Tanpa surat penangkapan, organ intim korban diperiksa. Ini cacat hukum dan cacat moral,” katanya.
Tak berhenti di situ, Ia, menegaskan bahwa korban juga mengalami pencemaran nama baik yang luar biasa. Sebelum kebenaran terungkap, korban telah dicap sebagai pelaku pembuangan bayi, dihina, dicaci maki, dan didiskriminasi oleh masyarakat.
“Nama korban sudah hancur. Padahal dia masih perawan dan tidak melakukan perbuatan itu. Hukum gagal melindungi korban, justru berpihak pada yang punya uang dan kuasa,” tandasnya.
Menurutnya kembali, kasus ini memperlihatkan betapa sempitnya ruang keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual di Indonesia. Alih-alih dilindungi, korban justru dipaksa menerima penyelesaian yang tidak setara dengan penderitaan yang dialaminya.
“Kalau kasus seperti ini diselesaikan dengan uang receh, maka perempuan lain akan takut mencari keadilan. Negara harus hadir, bukan menutup aib dengan amplop,” pungkasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan mendesak adanya sanksi tegas terhadap oknum yang terlibat serta jaminan pemulihan menyeluruh bagi korban, baik secara hukum, psikologis, maupun sosial.















