Blora, Tuturpedia.com — Di era serba cepat dan digital, ternyata masih ada “usaha klasik” yang tetap laris manis: adol cemong. Modalnya bukan ijazah, bukan prestasi, melainkan omongan dari mulut ke mulut yang dibungkus seolah informasi penting. Isinya? Campur aduk antara bisik-bisik, dugaan, hingga tudingan yang perlahan membunuh karakter seseorang.
Fenomena ini kian subur di lingkaran politik dan birokrasi. Dari warung kopi, grup WhatsApp, hingga ruang tunggu kantor pejabat, adol cemong bertransformasi menjadi alat tawar. Bukan untuk kepentingan publik, melainkan membuka jalan licin menuju rupiah, jabatan, atau proyek. Jumat, (19/12/2025).
Dengan wajah sok peduli dan bahasa setengah berbisik, para pedagang omongan ini menjajakan cerita yang belum tentu benar. Targetnya jelas: menciptakan keresahan, merusak reputasi, lalu hadir sebagai “penolong” yang menawarkan solusi—tentu dengan harga tertentu.
Ironisnya, praktik ini kerap lebih dipercaya daripada data dan kerja nyata. Sekali nama di-cemong-kan, klarifikasi kalah cepat dengan gosip. Karakter runtuh, sementara si penjual omongan naik kelas menjadi makelar pengaruh.
Satire ini menjadi cermin, bahwa di tengah gempuran jargon etika dan profesionalisme, masih ada yang memilih jalan pintas: menjual omongan demi rupiah, sambil meninggalkan jejak licin yang bisa menjerumuskan siapa saja.
Karena di negeri adol cemong, suara paling keras bukan selalu yang paling benar—tapi sering kali yang paling pandai menjual cerita.
Catatan: Tulisan ini hanya sebagai refleksi
