Blora, Tuturpedia.com– Publik Blora kembali disuguhi episode baru sinetron kebijakan berjudul “Mediasi Humanis ala Elite”. Alurnya rapi, tokohnya lengkap, dan informasinya lokasinya megah yakni di Rumah Dinas. Namun sayang, penontonnya—alias masyarakat—masih kebingungan mencari inti cerita. Jumat, (19/12/2025).
Bahkan dari keterangan vidio yang beredar, Ketua DPC PSI Blora tampil sebagai penengah, meski tak jelas menengahi siapa dengan siapa. Sebab hingga akhir adegan, publik belum menemukan jawaban sederhana: damai antara pihak mana dan pihak mana? Korban dengan pelaku? Masalahnya, pelakunya sendiri masih misterius, bak tokoh bayangan yang hanya disebut dalam dialog tanpa pernah muncul di layar.
Kasus yang disebut-sebut sebagai dugaan salah tangkap ini pun makin artistik. Dalam hukum, salah tangkap biasanya punya jalur terang: penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan, lalu penahanan. Tapi di versi ini, alur tersebut seperti di-skip, langsung lompat ke adegan klimaks: kompensasi Rp50 juta dan janji pendidikan sampai S1.
Di sinilah publik mulai mengernyitkan dahi. Pertanyaan pun berhamburan:
- Jika ini damai, siapa yang berdamai?
- Jika ada korban, siapa pelakunya?
- Jika salah tangkap, salah siapa dan di mana salahnya?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul bukan karena masyarakat tak percaya, melainkan karena alur cerita terasa lebih cepat sampai ke epilog ketimbang prolog.
Yang paling menarik perhatian tentu bukan hanya damainya, melainkan angka yang ikut berdamai: Rp50 juta. Angka yang cukup untuk menenangkan suasana, tapi juga cukup untuk memancing rasa ingin tahu.
Sebab ini bukan kasus penipuan yang logikanya sederhana: ditipu Rp50 juta, dikembalikan Rp50 juta. Ini juga bukan perkara utang-piutang. Lebih unik lagi, partai politik disebut-sebut, tapi sekaligus ditegaskan tidak ada korelasinya dengan partai. Publik pun bertanya, kalau tidak ada kaitannya, kenapa atribut politik ikut naik panggung?
Narasi pun dikemas rapi: semua pihak sudah sesuai SOP, semua sudah prosedural, tak ada yang salah, tapi ada kompensasi. Ini seperti mengatakan, “tidak ada api, tapi asapnya kami beri santunan.”
Satire paling halusnya, mediasi ini disebut demi meluruskan pemberitaan agar masyarakat tidak resah. Namun ironisnya, justru setelah mediasi, daftar pertanyaan publik semakin panjang. Dari yang awalnya satu kasus, kini berkembang jadi diskusi massal tentang logika hukum, transparansi uang, dan batas peran politisi.
Masyarakat Blora sejatinya sederhana. Mereka tidak menuntut drama, apalagi heroisme dadakan. Yang mereka minta hanya kejelasan: hukum ditegakkan sesuai prosedur, siapa salah bertanggung jawab, dan empati tidak menggantikan keadilan.
Tak hanya itu, sebagian warga yang gemar berpikir prosedural juga mengingatkan dengan lembut bahwa dalam kamus hukum, istilah salah tangkap biasanya punya tahapan panjang: penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan, hingga penahanan. Tahapan-tahapan ini, menurut mereka, bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi agar damai tidak terasa seperti jalan pintas.
Karena di negeri ini, damai tanpa kejelasan hanya akan melahirkan satu hal: prasangka baru yang lebih ribut dari perkara awalnya.
Maka wajar bila muncul pertanyaan pamungkas yang paling halus namun tajam:
jika ini bukan kasus penipuan, bukan utang-piutang, dan belum jelas pelaku-korbannya, maka Rp50 juta itu sejatinya apa? Ganti rugi? Tali asih? Kompensasi empati?
Meski demikian, semua pihak sepakat pada satu hal: niat baik patut diapresiasi. Hanya saja, di era keterbukaan, niat baik sering kali perlu ditemani penjelasan yang gamblang. Sebab masyarakat Blora bukan sekadar ingin damai—mereka juga ingin paham.















