Blora, Tuturpedia.com — Tuntutan pidana 2 bulan penjara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus kelalaian proyek konstruksi di RSU PKU Muhammadyah Blora yang menewaskan 5 pekerja dan melukai 8 orang lainnya, telah memicu kekecewaan dan kritik tajam dari kalangan praktisi hukum. Selasa, (28/10/2025).
Menurut Darda Syahrizal, seorang Praktisi dan Pengamat Hukum, tuntutan yang sangat ringan ini merupakan “bentuk Pelanggaran Prinsip Proporsionalitas dan merupakan ancaman Perlindungan Tenaga Kerja”.
“Saya sangat menyayangkan sikap JPU yang menetapkan tuntutan yang sangat ringan ini, karena ini merupakan kegagalan sistemik dalam penerapan hukum pidana K3 dan mengancam perlindungan bagi para tenaga kerja lainnya di kemudian hari,” tegas Darda Syahrizal.
Melanggar Prinsip Proporsionalitas: Tuntutan Hanya 3,3% dari Ancaman Maksimal Kritik utama tertuju pada disparitas nilai pidana yang tidak sebanding dengan bobot delik, terutama karena melibatkan banyak korban jiwa.
Tuntutan Tidak Proporsional: JPU hanya mendasarkan tuntutan pada Pasal 359 KUHP (Kelalaian Menyebabkan Kematian) dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara. Tuntutan 2 bulan penjara hanya setara dengan \approx \text{3,3\%} dari ancaman pidana maksimum pasal tersebut.
Disparitas ekstrem ini dinilai melanggar prinsip proporsionalitas (proportionality principle) dan menodai keadilan substantif.
Efek Restorative Justice Tidak Seimbang:
Meskipun pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dapat menjadi alasan yang meringankan, tuntutan 2 bulan penjara dalam konteks kecelakaan fatal ini dinilai tidak seimbang dan tidak mencerminkan pemulihan yang adil bagi para korban dan keluarga.
Kegagalan Menerapkan Sanksi Pidana Berlapis: Sinyal Bahaya Bagi Industri Konstruksi
Hal krusial lain yang disoroti adalah kegagalan JPU menerapkan sanksi pidana berlapis dari peraturan perundang-undangan spesifik di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
JPU Gagal Menjerat Pelanggaran K3:
JPU dinilai mengabaikan instrumen hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan tenaga kerja, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. UU Cipta Kerja.
Seharusnya, JPU menerapkan sanksi pidana dalam Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan Jo. UU Cipta Kerja, yang mengancam Terdakwa dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda min Rp10 juta & max Rp400 juta. Pasal ini adalah kunci untuk menjerat terdakwa dalam kasus pelanggaran K3.
Selain itu, sanksi dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja juga seharusnya digunakan untuk menegaskan pelanggaran norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) spesifik.
“Tuntutan ringan ini mengirimkan sinyal berbahaya: biaya kelalaian fatal sangat murah,” kata Darda. Hal ini dikhawatirkan tidak akan memberikan efek jera yang memadai bagi industri konstruksi dan berpotensi menyebabkan risiko kecelakaan serupa terus tinggi di masa depan.
Pertanyaan Kunci: Koordinasi Kejaksaan dan Pengawas Ketenagakerjaan Dipertanyakan
Ketiadaan tuntutan berlapis dari UU Ketenagakerjaan juga memunculkan pertanyaan kritis mengenai proses penyelidikan K3. Mengacu pada UU Ketenagakerjaan, Pengawas Ketenagakerjaan berwenang sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Tidak digunakannya UU Ketenagakerjaan oleh JPU mengindikasikan dugaan adanya kelemahan dalam penyidikan K3 atau koordinasi yang tidak optimal antara pihak kejaksaan dengan PPNS dalam memastikan ada atau tidaknya pelanggaran K3 yang spesifik.
Para pengamat mendesak agar kasus serupa di masa depan harus ditangani secara komprehensif dan keras melalui tuntutan pidana berlapis, demi meningkatkan standar kepatuhan K3 dan menjamin masa depan para pekerja konstruksi.
















