banner 728x250

RACUN MBG: Bukan Sekadar Nasi Basi, Tapi Pertaruhan Rp320 Triliun Melawan Mafia Pangan

TUTURPEDIA - RACUN MBG: Bukan Sekadar Nasi Basi, Tapi Pertaruhan Rp320 Triliun Melawan Mafia Pangan
banner 120x600

Blora, Tuturpedia.com — Program Makan Bergizi (MBG) yang seharusnya menjadi penopang gizi anak bangsa kini diterpa badai keracunan di berbagai daerah. Kasus anak-anak yang tumbang usai menyantap hidangan MBG telah menciptakan keresahan massal dan mempertanyakan esensi program dengan anggaran fantastis kurang lebih Rp320 triliun.

Namun, benarkah masalahnya hanya terletak pada kelalaian juru masak di dapur? Atau ada “racun” lain yang jauh lebih sistemik, yang sengaja disusupkan untuk menggagalkan revolusi ekonomi pedesaan.

Rp320 Triliun untuk Siapa?

Hal tersebutlah yang disampaikan oleh Saiful, salah satu masyarakat pemerhati MBG di kota dengan julukan penghasil minyak serta jati, pada awak media ini, Senin (13/10/2025).

Menurutnya, MBG bukanlah sekadar program sosial, melainkan sebuah rencana ekonomi raksasa. Anggaran sebesar itu dirancang untuk mengalir hingga ke tingkat desa, menciptakan ribuan dapur umum yang setiap hari membutuhkan pasokan bahan pangan segar: sayur, beras, ikan, telur, dan daging.

Secara konsep, lanjutnya kembali, jika dijalankan lurus, program ini memiliki potensi untuk memutus mata rantai kekuasaan tengkulak yang sudah puluhan tahun menjerat petani Indonesia.

“Semisal, harga kacang panjang di tingkat petani hanya Rp2.000 per kilo, tapi di pasar bisa melonjak hingga Rp16.000. Selisih harga itu bukan milik petani yang membanting tulang, melainkan tengkulak. Mereka hanya bermodal kendaraan angkut,” ucapnya.

Ia, juga menuturkan bahwa jika dapur MBG membeli langsung dari petani dan peternak lokal, miliaran rupiah akan berputar di pedesaan, memberikan harga yang lebih adil, dan memandulkan cengkeraman tengkulak. Ini adalah revolusi ekonomi yang dapat mengubah nasib jutaan keluarga.

Gizi Dicuri, Kesejahteraan Digagalkan

“Sayangnya, niat baik itu kini terkontaminasi. Alih-alih kabar kemakmuran, yang muncul justru rentetan berita keracunan. Anak-anak menjadi korban, kepercayaan masyarakat runtuh, dan program masif ini terancam gagal sebelum mencapai potensi maksimalnya,” ungkapnya.

Pihaknya juga menjelaskan, bahwasanya di sinilah pertanyaan kritis muncul: Apakah ini murni masalah kualitas SDM pengolah makanan, atau ada pihak yang sengaja ingin menjatuhkan program ini dari dalam?
MBG berhadapan langsung dengan sistem distribusi pangan yang dikuasai oleh segelintir pemain.

“Para tengkulak dan mafia pangan, yang selama ini dengan mudah mengatur harga, jelas akan merasa terancam dengan adanya sistem pasokan baru yang langsung menghubungkan dapur dengan petani.
“Racun itu bisa bermakna ganda,” tulis Saiful. “Literal, makanan yang membuat anak-anak keracunan. Dan simbolis, konsep besar yang digagalkan sejak awal agar tidak sempat membuahkan hasil,”

Pertaruhan Masa Depan

Lebih lanjut, dirinya juga menceritakan kembali bahwasanya angka kurang lebih Rp320 triliun terlalu besar untuk dibiarkan menjadi ladang permainan mafia pangan dan birokrat yang malas. Kegagalan program ini tidak hanya berarti anak-anak kehilangan gizi, tetapi juga lenyapnya peluang emas bagi kemakmuran pedesaan.

“MBG adalah pertaruhan besar. Di satu sisi, ia adalah mesin kesejahteraan baru. Di sisi lain, jika dibiarkan bobrok, ia hanya akan menjadi skandal baru yang menggerogoti anggaran negara dan masa depan bangsa,” tuturnya.

Terahkir, Iful sapaan akrabnya pun menegaskan pertanyaan mendasar tetap sama: Apakah anak-anak keracunan akibat cerobohnya SDM di dapur, ataukah ini adalah upaya terstruktur untuk menggagalkan program yang mengancam kepentingan para ‘penguasa’ harga pangan?

Satu hal yang pasti, sepiring MBG bukan lagi sekadar urusan dapur, melainkan urusan masa depan ekonomi bangsa yang harus diselamatkan,” tegasnya.

Penulis: Lilik Yuliantoro Editor: Permadani T.