banner 728x250

Intrik Serius Dalam Suksesi Pemilihan Sri Paus (Sebuah Review untuk Film Conclave Karya Edward Berger)

TUTURPEDIA - Intrik Serius Dalam Suksesi Pemilihan Sri Paus (Sebuah Review untuk Film Conclave Karya Edward Berger)
banner 120x600
banner 468x60

Tuturpedia.com – Usai tayang perdana di Telluride Film Festival ke-51 pada Agustus 2024 dan mendapat ulasan positif dari kritikus, Conclave kemudian menjadi salah satu film yang paling diperhitungkan untuk berkompetisi dalam gelaran Oscar 2025.

Film thriller politik ala Edward Berger ini mendapatkan sejumlah nominasi termasuk yang paling bergengsi adalah nominasi Best Picture.

Untuk diketahui, Conclave ditulis oleh Peter Straughan berdasarkan novel berjudul sama karya Robert Harris yang rilis pada 2016 lalu.

Edward Berger menggaet Ralph Fiennes, Stanley Tucci, John Lithgow, Sergio Castellitto, dan Isabella Rossellini untuk bermain di film ini.

TUTURPEDIA - Intrik Serius Dalam Suksesi Pemilihan Sri Paus (Sebuah Review untuk Film Conclave Karya Edward Berger)

Sinopsis Film Conclave

Kardinal Thomas Lawrance (Ralph Fiennes) ditunjuk menjadi Dekan Dewan Kardinal usai Sri Paus meninggal akibat serangan jantung. Karena tugas itulah, Kardinal Lawrance memiliki tanggungjawab untuk mempersiapkan Conclave (konklaf), semacam proses pemilihan Sri Paus baru dalam beberapa pekan ke depan.

Tugas Kardinal Lawrance terasa makin berat kala kematian pimpinan tertinggi Gereja Katolik yang misterius tersebut, juga ditambah dengan beredarnya isu perpecahan kubu di dalam dewan Kardinal.

Ada empat kandidat yang dijagokan untuk mengemban tugas menjadi Sri Paus, mereka adalah; Aldo Bellini (Stanley Tucci) dari Amerika Serikat yang berpandangan Liberalis, Joshua Adeyemi (Lucian Msamati) dari Nigeria yang berpaham Sosialis-Konservatif, Joseph Trembley (John Lithgow) dari Kanada yang Moderat, serta Goffredo Tedesco (Sergio Castellitto) dari Italia yang Tradisionalis-Fundamental.

Di tengah persiapan Konklaf tersebut, Kardinal Lawrance juga mendapat berbakai bisikan nyaring seputar rumor yang hinggap pada masing-masing Kardinal calon pengganti Sri Paus.

Salah satu kabar yang diterimanya adalah kesaksian Janusz Woźniak (Jacek Koman) prefek rumah tangga kepausan terkait keputusan Sri Paus yang meminta Kardinal Trembley untuk mundur sebagai kardinal.

Ada pula kabar soal potensi bahaya yang timbul apabila Takhta Suci Kepausan jatuh ke tangan orang-orang radikal dan ekstremis. Hal yang paling ditakutkan kardinal Bellini karena akan berakibat pada kemunduran capaian progresif dari Takhta Suci Kepausan selama enam dekade terakhir.

Masalah makin terasa pelik tatkala Kardinal Lawrance mengalami kegamangan Iman secara personal terkait eksistensi Gereja.

Hingga suatu hari, tiba-tiba datang seorang Kardinal yang mengaku diangkat secara pribadi oleh Sri Paus secara rahasia dan bertugas di tempat yang membuat semua anggota Dewan Kardinal tercengang. Ia adalah Kardinal Vincent Benítez (Carlos Diehz) yang bertugas di Kabul, Afghanistan.

TUTURPEDIA - Intrik Serius Dalam Suksesi Pemilihan Sri Paus (Sebuah Review untuk Film Conclave Karya Edward Berger)

Review Film Conclave (SPOILER)

Tak heran rasanya, jika Conclave dikukuhkan menjadi salah satu nominator terkuat dalam gelaran Academy Award 2025. Film ini terasa sangat kuat dan berpotensi memantik ‘candu’ bagi penonton untuk menonton film ini lebih dari satu kali. Edward Berger secara cerdas mengemas film yang berpotensi membosankan ini menjadi drama yang thrilling dan sangat menghibur.

Naskah karya Peter Straughan secara apik mentransformasikan novel karya Robert Harris menjadi sebuah cerita thriller politik penuh konspirasi dan teka-teki yang mengingatkan kembali pada film Cairo Conspiracy (2022) karya Tarik Saleh.

Peter Straughan berhasil memainkan tipu-daya penulisan yang cukup berhasil mengecoh penonton melalui berbagai clue yang ia sebar sejak film dimulai.

Intensitas film ini terus naik sedikit-demi-sedikit sehingga membuat siapapun yang menonton akan berdecak kagum dengan plotnya yang dikemas rapih.

Dialog-dialognya yang quotable dikemas secara mengalir dan terasa natural, sehingga berhasil menggiring narasi cerita, mulai dari planting, build up ketegangan, character development, moment of revealing, dan bahkan belokan plot.

Belum lagi sinematografi yang ditampilkan terasa sangat memanjakan mata, degan pilihan warna dan komposisi cocok dan terasa elegan khas Edward Berger yang hobi menampilkan visual apik.

Namun tak hanya sampai di situ, sinematografinya juga seolah menjadi perlambang yang ciamik sebagai media penyampai kritik.

Sebagai contoh, sinematografi yang rapih, elegan, dan indah seolah diciptakan Edward Berger untuk menggambarkan para Dewan Kardinal yang dianggap memiliki citra yang suci dan bermartabat. Namun, tatkala muncul berbagai konflik yang pelik, Berger menampilkan gambar-gambar yang secara visual tetap indah, namun terasa muram.

Ciri khas Edward Berger yang juga tak ketinggalan ia tampilkan di film Conclave adalah scene opening yang selalu terasa powerfull dan menampilkan sebuah ‘proses’. Sebagai contoh, pada filmnya yang berjudul All Quite on the Western Front (2022), Berger menampilkan proses pembuatan seragam tentara di scene opening. Sementara itu di film Conclave, ia menampilkan shot yang menggambarkan proses yang terjadi pasca kematian Sri Paus, mulai dari pelepasan lambang pada cincin paus, proses pemindahan jasadnya, hingga pemasangan segel pada ruangan pribadinya.

Maka tak heran, jika gelombang protes terjadi di internet tatkala Conclave ternyata tak cukup mampu membuat juri Oscar 2025 terkesan sehingga memasukkannya menjadi salah satu nominator untuk Best Cinematography.

Berdasarkan berbagai artikel, beredar kabar bahwa bujet produksi film ini ‘hanya’ mencapai angka 20 Juta US$. Sehingga tak salah rasanya jika kru bagian desain produksinya juga patut dihadiahi apresiasi tinggi sebab mampu memaksimalkan bujet ‘kecil’ itu menjadi karya apik yang berimpact ‘besar’.

Hal tersebut juga didukung dengan latar belakang musik garapan Volker Bertelmann yang terasa magis dan memperkuat suasana cerita. Musik latar belakang tersebut membuat penonton seolah seperti sedang berada dalam prosesi Liturgi yang sakral. Namun, di beberapa titik akan dipacu dengan musik-musik bernuansa thriller saat proses investigasi mulai berlangsung.

Naskah yang baik, visual yang apik, dan musik yang ciamik ini secara berkelindan kemudian menghasilkan tontonan yang epic. Lebih-lebih saat ketegangan film mencapai puncak. Penonton seolah diajak menikmati tontonan ala reality show yang mengingatkan kita pada program Big Brother, Penghuni Terakhir, dan sejenisnya.

Yang lebih memantik kagum lagi, Conclave secara berani menunjukkan berbagai hal tabu yang jarang diketahui masyarakat awam. Lengkap dengan berbagai kritik sosial dan tanggapan terhadap berbagai hal yang terjadi di dunia seputar topik keberagaman dan keberagamaan. Apalagi saat filmnya mulai menampilkan sisi-sisi lain dari masing-masing anggota Dewan Kardinal, yang juga memiliki sifat-sifat manusiawi. Contohnya adalah tatkala Anggota Dewan Kardinal ternyata juga bisa saling bergosip dan menuntut “Spill the Tea” terhadap isu yang hinggap pada calon pemimpin mereka.

Namun lagi-lagi, kejelian Edward Berger dalam menggarap film ini patut diacungi sepuluh jempol dengan caranya yang cerdas menampilkan hal yang kemudian memasang mindset umum pada penonton agar memahami film ini sebagai fiksi yang penuh dengan dramatisasi intrik.

Sebab isu-isu yang berpotensi memantik kontroversi itu ia kemas menjadi tetap terasa aman dan layak tonton. Apalagi pada bagian konklusinya yang berpotensi mengundang adanya miskonsepsi. Namun karena kecakapan Berger itulah, ‘teori-teori sok tau’ dari orang-orang yang mungkin terjangkit penyakit miskonsepsi menjadi terbungkam dengan sendirinya.

Overall, film ini sangat apik dan layak tonton. Banyak pelajaran berharga yang bisa penonton dapatkan. What a movie, Conclave, remember the title! A masterpiece.***

Penulis: Rizal Akbar