banner 728x250
News  

Revisi UU Penyiaran Wajibkan YouTuber dan TikToker Verifikasi Konten ke KPI, KPYKI Pertanyakan Caranya

KPYKI ungkap kekhawatiran soal draf revisi UU Penyiaran. Foto: unsplash.com/christianw
KPYKI ungkap kekhawatiran soal draf revisi UU Penyiaran. Foto: unsplash.com/christianw
banner 120x600
banner 468x60

Tuturpedia.com – Komunitas Podcaster, YouTubers, dan Konten Kreator Indonesia (KPYKI) mengkhawatirkan draf revisi undang-undang (UU) penyiaran yang sedang diproses DPR RI.

Khususnya berkenaan dengan pasal 34F Ayat 2 yang mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).

Hal itu diungkapkan oleh Yusuf Mars, S.Ag, M.I.Kom, selaku Ketua KPYKI sekaligus pendiri kanal YouTube @PadasukaTV.

“Terkait pasal tersebut masih perlu diperjelas, apakah esensi pasal tersebut akan menyasar pada pelaku kreator konten, terutama yang berbasis individu, seperti podcaster, TikToker, influencer atau ditujukan kepada platform digitalnya? Atau kebijakan tersebut diberlakukan untuk media mainstream yang punya platform digital di medsos, seperti di YouTube, TikTok dan lain sebagainya. Ini perlu perjelas,” ungkap Yusuf Mars, dilansir Tuturpedia pada Sabtu (18/5/2024).

Lebih lanjut, Yusuf Mars mengatakan jika draf revisi UU Penyiaran mengarah kepada individu kreator konten, dinilainya tidak tepat.

Terlebih, kebijakan tersebut menyamakan perlakuan antara pelaku industri media penyiaran dengan kreator konten.

“Bagaimana teknis verifikasi konten yang akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada jutaan pengguna media sosial? Menurut data We Are Social, pengguna sosial media di Indonesia per Januari 2024 saja sudah mencapai 139 juta pengguna. Artinya 49,9 persen dari total populasi, bagaimana cara verifikasinya?” kata Yusuf Mars. 

Kemudian, Yusuf menuturkan bahwa aturan itu sudah diterapkan platform digital seperti YouTube, Tiktok, dan media sosial lainnya.

“YouTube misalnya, ketika kreator konten akan mem-publish video, ada langkah-langkah verifikasi dan tahapan-tahapannya, termasuk apakah video tersebut mengandung hoax, SARA, ujaran kebencian atau tidak, kreator harus mengisi verifikasi tersebut,” ujarnya.

“Kemudian setelah melewati verifikasi tersebut, konten tersebut baru bisa di-publish. Sehingga verifikasi konten berjalan sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan oleh regulasi pemerintah. Dan mekanisme ini sudah berjalan. Jika aturan itu ke arah sana, tentu tidak dipersoalkan. Bunyi pasal tersebut jangan memiliki multitafsir,” lanjutnya. 

Ketua KPYKI ini kemudian berharap jika DPR dan pihak terkait lebih memperhatikan revisi UU Penyiaran tersebut dengan ekosistem digital yang mulai tumbuh di Indonesia.

Langkah pemerintahan Presiden Jokowi telah menaruh perhatian terhadap tumbuhnya ekonomi digital. Salah satunya eksosistem yang dibangun YouTube serta platform digital lainnya, sehingga mendorong tumbuhnya lapangan pekerjaan dan ekonomi nasional. 

“Bisa kita lihat, bagaimana seorang YouTuber di desa mendapatkan penghasilan dari kontennya dan memiliki kesempatan yang sama dengan orang-orang yang ada di perkotaan. Ekosistem digital ini mampu menggerakkan ekonomi masyarakat. Hal ini selaras dengan hasil kajian Dewan TIK Nasional yang memperkirakan bahwa ekonomi digital pada tahun 2024 diperkirakan menyumbang hingga 4,66% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,” terangnya.

“Pertumbuhan tersebut didorong berbagai sektor industri, terutama sektor e-commerce, transportasi dan makanan, perjalanan online serta dan media online. Kehadiran ekonomi digital juga menciptakan berbagai peluang pekerjaan baru yang diperkirakan mencapai 3,7 juta pekerjaan tambahan pada tahun 2025,” jelasnya.

Menurutnya, akan sangat bijak apabila revisi UU Penyiaran khususnya terkait platform digital mendorong ke sektor ekonomi digital lebih cepat.***

Penulis: Annisaa Rahmah.