Tuturpedia.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima secara resmi 20 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Aduan tersebut cukup bervariasi. Mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan semua hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.
Seperti diketahui, dalam putusan tersebut disampaikan bahwa MK mengabulkan sebagian pada Senin (16/10), yakni syarat calon presiden dan wakil presiden atau capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Namun, putusan tersebut diduga mengandung konflik kepentingan. Julius Ibrani selaku Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) juga mengungkapkan berbagai kejanggalan dari putusan tersebut.
Kejanggalan ini dilaporkan Julius dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara dan pedoman kode etik hakim yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Apa saja kejanggalan yang disebutkan Julius Ibrani? Simak selengkapnya sebagai berikut.
- Dokumen perbaikan permohonan yang dilayangkan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru tak ditandatangani kuasa hukum ataupun Almas sendiri.
Julius mengungkapkan agar hal ini juga diperiksa. “Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya,” tuturnya, seperti dikutip dari kanal YouTube MK pada Kamis (2/11/2023).
Selama ini MK menjadi pionir sekaligus teladan dalam pemeriksaan persidangan yang cukup disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif. Oleh karena itu, temuan dokumen perbaikan permohonan yang tidak ditandatangani itu menjadi sebuah kejanggalan.
“Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” terangnya.
- MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Padahal tiga putusan sebelumnya pada hari yang sama, MK menolak semua gugatan terkait batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Saat itu MK juga secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7 Nomor 2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya.
- Legal standing pemohon lemah.
Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil ini bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena itu, tidak relevan diberikan kedudukan hukum/legal standing untuk bertindak sebagai pemohon.
Sebab, dalam permohonan ini Almas Tsaqibbiru tidak dirugikan konstitusionalnya secara pribadi. Almas mengaku sebagai pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, hal ini disampaikan Almas dalam permohonannya.
- Kemunculan Anwar Usman dalam gugatan perkara No. 90 dan No. 91.
Pada awalnya, putusan perkara gugatan gelombang pertama, Anwar Usman tidak ikut memutuskan perkara.
Absennya ipar Jokowi itu membuat putusan perkara ditolak dengan komposisi enam hakim menolak dan dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion.
Namun, pada perkara nomor 90 dan 91, Anwar Usman tiba-tiba ikut membahas dan memutus perkara ini. Padahal isu konstitusionalnya sama dengan perkara gelombang pertama.
Kehadiran Anwar Usman tidak hanya menambah jumlah hakim pemutus perkara tapi juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan sebagian permohonan. Hasilnya, perkara nomor 90 dikabulkan sebagian.
- Putusan bisa dianggap cacat hukum karena ada dugaan penyelundupan hukum.
Putusan MK no 90/PUU-XXI/2023 problematik, karena diduga mengandung satu cacat hukum serius dan mengandung upaya penyelundupan hukum.
Sebab dalam permusyawaratan hakim yang diketuai Anwar Usman menyebut bahwa ada 5 hakim mengabulkan dan 4 disenting opinion. Terjadi perbedaan dari 5 hakim yang setuju mengabulkan.
3 hakim di antaranya sepakat menerima petitum/tuntutan pemohon. Namun 2 hakim hanya setuju dengan frase usia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur.
Dalam argumen yang dirumuskan, di dalam concurring opinion bukanlah concurring tetapi itu dissenting opinion. Sehingga komposisinya, 6 disenting opinion dan hanyak 3 hakim yang mengabulkan. Namun, pada kenyataannya putusan MK menyebut 5 hakim setuju dan 4 disenting opinion.
Padahal pendapat Hakim Enny dan Daniel Foekh tidak setuju fase untuk seluruh kepala daerah. Enny membatasi hanya sepanjang yang bersangkutan gubernur dan mesti diatur lebih lanjut oleh pembentuk Undang-udang. Sedangkan, hakim Foekh mengatakan setuju hanya fase gubernur tanpa ada penjelasan lebih lanjut dari pembentuk undang-undang.
Itulah lima kejanggalan dalam putusan MK terkait batas minimal usia capres-cawapres.
Atas aduan dari banyak pihak soal ini, MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.***
Penulis: Nurul Huda
Editor: Nurul Huda
